Navigasi

2011/09/17

Sebuah Band Dalam Rahim dan [we.hum collective]

September 18.
Bumi hampir kembali khatam mengelilingi matahari sejak entri terakhir saya, dunia ini masih tidak baik-baik saja, dan saya masih terasik dan terasing di sini, di kota bajingan bernama Jakarta ini. Saya masih berkutat di masalah yang sama: alienasi dan masokisme. Eh, Masokisme? Ada yang bertanya begitu kan? Tidak ada? Ah, mungkin bahkan tidak akan ada yang membaca tulisan ini. Mungkin bahkan tidak akan ada orang yang terpikir untuk membaca blog ini. Mungkin mereka kebetulan bertemu dengan blog ini secara tidak sengaja melalui filestube demi beberisikan macam Peste Noire, Amesoeurs, atau Aura Noir, no? Ah, biarlah, biarkan saya meracau.

Masokisme...
Ah, tidak jadi. Biarlah itu menjadi topik untuk lain kali. Kebetulan saya belum berkesempatan untuk menggali emosi dan mengorek amuk yang teredam untuk menulis tentang bagaimana menyenangkannya mengorek-ngorek sebuah luka bernama masa lalu. Untuk sekarang, saya akan membahas tentang apa yang mencegah saya untuk menjagal diri sendiri seperti Per Yngve Ohlin (walaupun saya juga tidak terpikir untuk mati dengan otak terburai).

Beberapa bulan belakangan, saya terperangkap dalam dua kesibukan utama: bercinta dengan musik dan membangun sebuah ranjang untuk anak kami nanti. Kebetulan saya bertemu beberapa kawan yang mempunyai fetish yang sama dalam bermusik dan juga komitmen yang sama untuk menghamilinya. Untuk kalian yang penasaran akan proyek musik kami ini (walaupun saya yakin tidak ada yang penasaran), saya akan mendeskripsikannya dengan buruk dalam satu kalimat: "skramz with a little twist of insolence, insurgency, hate, sorrow, and black metal." Dan apakah itu skramz? Well, saya jujur agak malas menjelaskan. Baca saja di tautan berikut. Oh ya, bagian black metal ini adalah preferensi saya pribadi. Tak apalah. Sedikit ego tak akan menghancurkan sebuah band, bukan?


Skramz!


Namun apa daya, ternyata mencari personil itu lebih sulit daripada melucu di depan Habib Riqieq. Tiada drummer, proyek pun tak bisa lepas landas. Unfortunate indeed, padahal semua posisi sudah terisi, nama band sudah kami siapkan, dan beberapa lirik sudah mempunyai aransemen. Ah well, daripada berkutat di proyek yang tidak jelas kapan akan lahir saya pun berpikir untuk mempersiapkan landasannya saja karena jujur, dengan keadaan skena musik seperti saat ini, bayi kami akan mati prematur.

Oke, mari kita bicara tentang skena musik Indonesia. Apa yang akan saya bicarakan akan sangat subjektif mungkin, tapi persetan. Toh, kebenaran tak mengenal hakiki. Hanya subjektivitas yang nyata. Problem? Just fuckin' relax lah, tinggal klik tanda silang lucu di pojok kanan atas antarmuka browser anda dan VOILA! Dunia anda kembali damai tanpa perbedaan pendapat. Ehem, mari kembali ke topik.

Skena musik Indonesia hari ini: menyebalkan! Kalian yang kritis dan mempunyai hobi buruk berlompatan dari satu acara ke acara lain seperti saya pasti kurang lebih berpikiran sama. Bagaimana tidak, skena musik Indonesia hari ini berubah menjadi semacam geng, yang asik sendiri dalam private party mereka sendiri. Perhatikan saja gig-gig belakangan ini, terutama gig-gig dengan genre musik yang lumayan obscure, pasti yang datang bertandang maupun bermain hampir semuanya asyik-masyuk dalam inner-circle mereka. Nyaris tak menyisakan ruang bagi individu-individu di luar lingkaran tersebut untuk turut berdansa. Oke, mungkin cuma saya yang tidak suka dengan kondisi seperti itu, namun bukankah musik itu seharusnya merdeka dari segala eksklusifitas dan elitisme?

Jika itu bukan masalah bagi kalian maka izinkan saya melempar satu isu lagi: mentalitas yang menyedihkan dari para organizer. Saya sudah tidak begitu aware dengan skena musik independen generasi Aksara lagi, entahlah ada apa dengan mereka. Saya tidak tahu kenapa kicaunya tidak terdengar lagi. Toh, bukan itu juga yang ingin saya bahas. Saya lebih tertarik membahas fenomena di dua skena yang cukup besar di Indonesia, yakni Metal dan Hardcore Punk.

Metal dan hardcore hari ini mulai membosankan. Memang banyak band baru yang bermunculan dengan musik-musik yang semakin variatif. Tapi bagaimana dengan acara-acaranya? Sepertinya sudah bukan rahasia umum lagi bahwa band yang ingin bermain di suatu acara harus membayar sejumlah uang kepada panitia. Sebut saja kolekan, uang registrasi, sumbangan, atau apalah. Esensinya masih tetap sama: uang. Sekilas terdengar seperti bukan masalah yang besar. Toh, bikin acara juga perlu uang kan? Ya, saya pun setuju. Hanya saja, terdapat perbedaan uang yang harus disetor. Jikalau uang itu benar digunakan untuk kelangsungan acara bukankah semua band seharusnya membayar jumlah yang sama? Namun sayang nyatanya tidak. Band yang ingin mendapat jadwal bermain di waktu-waktu primetime dapat membelinya dengan membayar lebih mahal dibanding band-band lainnya. Oh, atau yang lebih menyedihkan lagi: sebuah band juga dapat membayar lebih mahal untuk bermain tepat sebelum band yang terkenal. Demi apa? Popularitas kah? Hey, bukankah kita semua seharusnya setara? Brotherhood and unity my arse!

This scene will destroy itself!
Tapi tidak, saya tidak akan membiarkannya. Skena ini pernah menyelamatkan saya dahulu di tahun 2008, tahun-tahun suram gulita. Ini waktunya saya membalas budi. Beruntung saya memiliki kawan-kawan yang satu visi. Tidak lama setelah beberapa pembicaraan mengenai betapa berengseknya cinta dan kehidupan di lokasi paling tersohor tahun ini, yakni Seven Eleven AKA 7-11 AKA Sevel, terbentuklah we.hum collective.


we.hum collective


we.hum collective
Singkatnya, we.hum adalah sebuah kolektif yang mempunyai utopia di mana "..tidak ada lagi sekat-sekat antar genre, wilayah, demografis, dan batas-batas maya lainnya di dalam scene musik Indonesia. Singkatnya, kami ingin membuat sebuah wadah musik non-elitis yang nirbatas." Kalian dapat membaca tentang kami selengkapnya di tautan ini. Utopis memang. Sayangnya, kami semua adalah seorang pemimpi yang impulsif. Jadi, kita lihat saja nanti apakah proyek ini akan mengamini visinya atau justru mati di pojokan album Facebook kalian.

Sampai nanti.