Navigasi

2012/06/23

Vallendusk

23 Juni 2012
Hari yang cerah, mari kita bermain. Saya akan melempar beberapa kata, lalu biarkan saya menebak apa yang ada di dalam benak anda. "Black Metal Indonesia", apa yang anda pikirkan? Tunggu, tunggu, biarkan saya menebak: gimmick bertemakan mistisisme, jurig, kuntilanak, pocong, kekejaman terhadap binatang, dan Cradle of Filth. Tidak? Ah, tak apa. Setidaknya itulah yang ada di dalam benak saya setiap kali ada kolektif yang mendeklarasikan aksinya sebagai black metal di Indonesia. Hampir semuanya menganut gimmick usang seperti berdandan seperti jejadian dan mempertontonkan ritual meminum darah ayam di video klip maupun aksi panggungnya. Selain itu pun musiknya tak terlalu bervariasi, hampir semuanya mengadopsi pendekatan simfonik terhadap black metal seperti yang dilakukan oleh Cradle of Filth dan Dimmu Borgir.

Tidak semuanya, memang. Ada beberapa grup di Bandung yang mengadopsi blackened death metal seperti Impish dan Hellgods. Di Solo ada Makam, grup black metal yang cukup vokal dalam memperjuangkan Kejawen. Selain itu akhir-akhir ini juga mulai banyak grup black metal satir yang bernaung di bawah Lumbung Angker Records seperti Bvrtan dan Cangkang Serigala yang merayakan keglamoran black metal berfidelitas rendah era second wave seperti Immortal dan Darkthrone, lengkap dengan stereotip-stereotip dan corpsepaint yang menyertainya.

Namun, hey, bagaimana dengan post-black metal? Indonesia sepertinya mengalami defisit akan grup-grup yang membawakan subgenre yang dibai'at sebagai anak haram black metal oleh para puritan ini. Cukup mengherankan memang, apalagi melihat sepertinya cukup banyak hipster di negeri ini yang rajin memutar tembang-tembang dari Wolves in the Throne Room dan Alcest. Sebenarnya saya agak bersyukur mereka tidak latah membuat proyek bertemakan black metal. Silakan lantangkan "elitis" dan "pretensius" kepada saya namun saya tetap berpikir bahwa black metal sebaiknya dijauhkan dari tangan khalayak, terutama khalayak yang menganggap dirinya bukan bagian dari khalayak. Biarkan saja ia tetap kvlt, berbahaya, dan subversif. Saya agak malas berpanjang lebar tentang hipsterdom di sini, sila simak pembahasan Adbusters saja jikalau ingin. Kurang lebih saya agak sependapat dengan mereka.

Sampai mana tadi, post-black metal? Ya, maaf, entah kenapa saya punya kebiasaan meracau tak jelas juntrungannya setiap menulis. Akhir kisah saya bertemu dengan sebuah nama: Vallendusk. Saya pertama mengenal mereka pada bulan Oktober tahun 2011 dari Mithos, gitaris mereka yang sempat bernaung di aksi-aksi metal Indonesia kenamaan seperti Bloody Gore dan Funeral Inception. Waktu itu ia sedang mencari bassist untuk Vallendusk, sebuah proyek yang tidak banyak saya ketahui selain pencantuman label "Atmopheric/Post/Folk Black Metal" pada laman Facebook-nya. Kontan saya pun berdecak "WAH!".

Kemudian senyap.


Selang beberapa bulan, Vallendusk mengunggah tembang-tembang mereka dan mengumumkan bahwa mereka akan merilis EP perdana mereka dalam format CD di bawah label Pest Productions, sebuah label rekaman asal China yang berjasa memperkenalkan saya dengan subgenre post-black metal melalui kompilasi "The World Comes to An End in the End of a Journey". Oh wow, terang saya takjub. Mereka tak banyak bicara dan menjual gimmick namun tiba-tiba mereka sudah berhasil melempar karya mereka ke audiens internasional. Sayang sepertinya mereka justru malah kurang dikenal di dalam negeri.

Vallendusk membawakan black metal yang sangat mengingatkan saya kepada aksi-aksi internasional yang banyak dirujuk ketika membicarakan post-black metal seperti Wolves in the Throne Room dan Agalloch. Tidak, mereka tidak mengikuti langkah Neige yang bermain dengan wall of sound yang berlapis-lapis dan riff-riff yang melanglang buana entah kemana.

Komposisi dari EP ini kebanyakan terdiri dari aransemen-aransemen panjang yang dibangun dengan frasa-frasa akustik yang mengarah kepada ledakan blastbeat dan riff-riff yang megah. Namun sayangnya saya tidak menemukan intensitas yang sama di setiap lagu. Vallendusk sepertinya lebih berhasil membangun suasana dan dinamika yang epik pada track dengan durasi panjang seperti "The Wooden Sphere" dibandingkan dengan track lainnya. Paruh awal dari tembang "Foghymn" agak mengingatkan saya pada era second wave black metal, namun pada paruh kedua mereka kembali membangun tempo untuk meledakkannya menuju senyap di akhir lagu. Sebuah formula yang menarik, namun sayang Vallendusk menggunakan formula tersebut untuk hampir setiap lagunya sehingga terdengar repetitif dan mudah untuk diprediksi.

Secara keseluruhan saya menilai EP perdana mereka ini cukup solid. Saya tak begitu mengerti masalah produksi namun saya bisa mendengarkan EP ini dengan nyaman tanpa harus mengerutkan telinga. Tidak buruk untuk rilisan perdana. Semoga pada rilisan-rilisan berikutnya Vallendusk lebih berani untuk bereksperimentasi pada ranah dinamika dan struktur lagu. Full-length, semoga.

Sekian racauan saya.
Salam.

==========================================
Vallendusk:
- Bandcamp (Streaming)

2012/06/13

Sepertinya

25 Juni 2012
Alkisah, saya sedang bosan, jadi sepertinya saya akan membuat tumblr baru. Tidak ada alasan khusus, saya hanya jijik saja melihat isi tumblr lama saya yang sepertinya hanya berisi reblog dan gambar-gambar tak jelas bertemakan pemberontakan dan musik-musik edgy. Jujur, dulu saya membuatnya hanya untuk alasan pencitraan saja. Semacam fesyen. Sama halnya dengan para musisi glam black metal yang banyak menjual imaji-imaji sesetanan dan musik berfidelitas rendah sebgai manifesto mereka. Sama juga dengan cetakbiru kolektif-kolektif skramz/emoviolence kebanyakan yang banyak mencantumkan padanan kata dari bahasa Perancis dan juga referensi kepada literatur-literatur dari gerakan Situasionis Internasional dalam tembang-tembang mereka.

Oh wow, pahit sekali saya. Tak apalah. Bencilah jikalau ingin. Toh, saya tak begitu peduli. Intinya saya cuma ingin membuat tumblr baru, sekian.